Ilmu Ekonomi Islam tidak Kontekstual




Materi ilmu ekonomi Islam yang disampaikan di perguruan tinggi agama Islam hanya bersumber dari kitab klasik yang kedaluwarsa. Hasilnya, menjadi tidak kontekstual dengan era global Hidayatullah.com--Menurut Dirjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama (Bagais Depag) Qodri Azizy, figh mu'amalah (ilmu ekonomi Islam) bukan hanya menjadi judul mata kuliah. Bahkan, nama jurusan atau program studi.

Namun, hanya menjadi sebuah pengetahuan teori yang tidak pernah dipraktikkan. ''Buktinya, sampai saat ini, hampir tidak ada penelitian ke lapangan untuk mengetahui aktivitas ekonomi Islam,'' katanya menjawab Media di ruang kerjanya di Jakarta, kemarin.
Materi yang disampaikan tidak pernah berubah. Padahal, karakteristik ilmu itu empirik, berkembang, atau setidaknya realistik. Seperti, karakter ilmu-ilmu lain yang terbuka untuk berkembang.
Yang lebih parah, katanya, upaya mempraktikkan materi ilmu ekonomi Islam tidak pernah dicoba di perguruan tinggi berbasis agama Islam. Seperti, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), atau Universitas Agama Islam (UIN). Padahal, semua perguruan tinggi agama Islam itu mengkaji ilmu-ilmu keislaman, termasuk fiqh mu'amalah.
Akibatnya, bukan saja ilmu ekonomi Islam menjadi stagnan dan statis, tetapi juga tidak bersentuhan dengan perkembangan dunia modern. Istilah valas, reksadana, dan obligasi, misalnya, tidak pernah tersentuh dalam praktik fiqh mu'amalah,'' ujar Qodri.
Lumrah saja, bila di lapangan yang menjadi pelopor dalam praktik ekonomi Islam adalah mereka yang berlatar belakang ahli ekonomi dan perbankan konvensional, bukan para ahli ilmu ekonomi Islam.
Padahal, sesungguhnya ilmu ekonomi Islam bukan cabang atau berasal dari ilmu ekonomi konvensional (sekuler). Tetapi, ilmu hasil ijtihad (inovasi dan kreasi) ulama yang dalam terminologi Islam disebut fiqh mu'amalah.
Di beberapa universitas di luar negeri, seperti Malaysia, Amerika, dan Timur Tengah, pelajaran ilmu ekonomi Islam dibarengi dengan praktik di lapangan. Wajar saja bila perkembangannya sangat pesat.
Berbeda dengan di Indonesia yang baru muncul belakangan ini. Bank Muamalat Indonesia (BMI) saja baru muncul 1992. Sedangkan, di negara lain sudah ada sejak lama.
Mantan rektor IAIN Walisongo Semarang pada 1999 ini mengatakan, isi, kemasan, dan metode ilmu ekonomi Islam yang disampaikan sama saja. Mulai madrasah ibtidaiah, madrasah sanawiah, madrasah aliah, pesantren, sampai perguruan tinggi.
Bahkan, tidak sedikit dosen IAIN, STAI, dan UIN yang bersikukuh ilmu ekonomi Islam sama dengan 'hukum dagang', tidak ada kaitannya dengan ekonomi dan perbankan, meskipun berpredikat Islam.
Di sisi lain, untuk ikut berkompetisi dalam era globalisasi, alumnus University of Chicago ini menjelaskan, sistem ekonomi Islam harus sanggup mengembangkan perbankannya.
Perbankan Islam harus bisa mengelola dana komersial, bukan hanya sekadar perpanjangan tangan distribusi zakat. Konteksnya, orientasi keuntungan tidak terabaikan begitu saja dengan dalil ajaran Islam.
Dalam Islam perdagangan dihalalkan. Namun, harus memerhatikan layanan komersial yang sesuai dengan ajaran Islam. ''Artinya, produk layanan di satu sisi memberi keuntungan pada pemilik modal dan di sisi lainnya mewujudkan keadilan sosial,'' kata Qodri.
Ini menunjukkan, ekonomi Islam harus sanggup berkompetisi dengan sistem ekonomi konvensional alias sekuler. Bukan semata-mata alasan dalil agama mengharamkan riba, kalau umat Islam meyakini agamanya sebagai rahmatan lil alamin yang mesti mampu mewujudkan pengelolaan layanan komersial yang profesional dan modern.
Untuk bisa berkompetisi di era global, ekonomi Islam harus mengembangkan layanan dan produk. Dan, ini hanya bisa melalui ijtihad yang kreatif dan inovatif. Pertimbangannya, Alquran dan contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw sangat terbatas, tidak mencakup seluruh persoalan ekonomi mutakhir,'' kata Qodri. (mi)




Share your views...

0 Respones to "Ilmu Ekonomi Islam tidak Kontekstual"

Posting Komentar

 

© 2013 SEMUA ILMU ADA All Rights Reserved. Powered by Blogger